Friday, August 3, 2012

[Pengalaman] Komunikasi Membuka Relasi dan Pengetahuan

Kamis, 19 Juli 2012 

Pukul 08.30 saya sudah berdiri di depan Kedutaan Besar Jerman untuk mengambil visa. Proses visa yang saya ajukan akhirnya sudah selesai diproses oleh Kantor Imigrasi Jerman. Agustus akhir saya akan melanjutkan sekolah ke Hochschule Ravensburg – Weingarten, Jerman. Tulisan ini bukan membahas soal sekolah atau keberangkatan saya nanti, tapi secuplik kejadian kecil dalam proses persiapannya.


Proses pengambilan visa adalah dengan menyerahkan passport ke loket visa sebelum pukul 10.00, dan passport-visa selesai diproses setelah jam makan siang, pukul 13.00. Waktu itu kedua orang tua saya tercinta ikut mengantar. Setelah menyerahkan passport ke loket, kami bertiga menunggu di Grand Indonesia, sambil bersantap siang. Ketika waktu sudah menunjukkan pukul 12.00, saya memutuskan untuk ke kedutaan dengan berjalan kaki, karena jika menggunakan kendaraan orang tua, kami akan terjebak dalam kepadatan lalu lintas siang itu.


Kira-kira 15 menit, saya sudah tiba di depan kedutaan. Gerbang masih ditutup, akan dibuka tepat pukul 13.00. Sudah tampak seorang laki-laki yang kira-kira seumuran saya, juga menunggu di depan gerbang kedutaan. Karena cuaca cerah dan cukup panas, saya akhirnya memilih duduk di depan gerbang yang agak teduh karena bayangan pohon. Laki-laki itu ikut duduk di sebelah saya. Saya lirik jam, baru pukul 12.25. Masih lama dan terasa lama karena panasnya luar biasa. Akhirnya saya coba untuk mengobrol dengan orang di samping saya ini.
“Siang, Mas, mau ambil visa juga?” tanya saya agak ragu, kuatir orangnya tidak akan menanggapi.
“Iya, Mba, tapi tadi pagi saya telat. Jadi sekarang mau nyerahin aja, besok pagi ambil lagi,” jawabnya cukup ramah.
“Hooo (kebiasaan aneh saya menanggapi sesuatu). Mas lanjut kuliah atau kerja?” tanya saya lebih lanjut.
“Saya mau kuliah S2, ilmu politik, kebetulan dibiayai sama kantor. Di Trier,” jawabnya.
“Hooo (lagi), Kakak kandung saya dulu kuliah di Trier juga, tapi sekarang sudah kerja di Nuremberg. Terus satu lagi, kakak saya juga, kuliah di Weingarten, sekarang kerja di Freising. Nah, saya mau kuliah di Weingarten itu, Mas,” celoteh saya semangat.
“Sebenernya ini udah kedua kali saya apply visa. Yang pertama ditolak. Bukan pending. Saya harus mengajukan ‘banding’ ke Departemen Luar Negeri,” katanya membuka topik pembicaraan baru. “Teman saya juga, ditolak gara-gara ga punya sertifikasi bahasa Jerman. Padahal kuliahnya full Inggris.”
Saya langsung tersentak, “Hoooo (lebih nyaring) saya juga program full Inggris, dan belum punya sertifikasi bahasa Jerman. Tapi diapprove kok.” Tiba-tiba saja saya panik takut kalau tiba-tiba visa saya akan ditolak begitu saya mengambil passport nanti.
Terkuaklah cerita tentang seorang petugas visa wanita yang kami juga tidak tahu siapa namanya. Sebutlah namanya Mawar (bukan nama sebenarnya tentu saja), terkenal akan kegalakannya dalam proses aplikasi visa. Dua tahun yang lalu, Mama saya mengajukan aplikasi visa untuk berkunjung menemani istri Kakak saya yang akan melahirkan di Jerman. Sudah merasa yakin karena semua dokumen yang diperlukan sudah dilengkapi, aplikasi oleh Ibu Mawar dipending (beda dengan ‘ditolak’. Pending itu biasanya ada dokumen kurang lengkap, sehingga kita diminta untuk kembali lagi menyerahkan seluruh dokumen pada appointment selanjutnya). Mama diminta menyertakan surat asli, dokumen undangan dari Kakak saya.
Hal yang sama terjadi pada Mas tersebut (belum sempat berkenalan menanyakan nama, kami sudah ngobrol asik). Mas tersebut sudah lulus tiga tahun yang lalu, dan Ibu Mawar meminta semua bukti kerja dari semenjak beliau lulus. Agak mengada-ada, karena untuk keperluan visa studi yang diminta sebenarnya adalah: Ijazah SMA dan S1, surat penerimaan dari universitas di Jerman, passport, bukti keuangan, dan pas photo untuk visa.
Kasus lain oleh Ibu Mawar adalah teman dari Mas tersebut yang akan mengikuti program S2 dalam bahasa Inggris, diminta sertifikasi bahasa Jerman. Padahal pada website dituliskan , “Sertifikasi bahasa Jerman jika diperlukan untuk studi”. Pada surat penerimaan universitas dicantumkan dengan jelas apakah program dijalankan dengan bahasa Jerman atau Inggris. Teman Mas tersebut akhirnya menunda aplikasi visa dan dia mengikuti kursus intensif. Sementara saya dulu pernah mengikuti kelas A1.1 di kampus ketika kuliah tidak mendapatkan sertifikat (karena mangkir ujian, ada ujian perkuliahan), dan saat ini belajar mandiri karena nanti program belajar dalam bahasa Inggris. Dan yang lebih saya syukuri, adalah ketika melakukan aplikasi oleh petugas visa tidak disinggung sama sekali.
Dari pembicaraan singkat tersebut, saya merasa sangat bersyukur karena semua proses aplikasi yang saya jalankan lancar, dan tidak dipersulit. Belum lagi di akhir pembicaraan, Mas Zaenal (mengetahui namanya setelah kira-kira setengah jam mengobrol) menanyakan apakah saya sudah memiliki tiket pesawat atau belum. Saya belum booking tiket sama sekali karena takut visa ditolak. Dia menginformasikan bahwa saya bisa membuat international student card di sebuah agen perjalanan, dengan hanya membayar Rp 100.000,00. Dengan memiliki kartu tersebut saya dapat mendapatkan potongan harga yang cukup besar. Sebelumnya saya cukup stress melihat harga tiket untuk tanggal keberangkatan saya mulai dari 850 USD up. Dengan kartu tersebut saya bisa mendapatkan potongan harga yang lumayan, tapi tidak semurah yang Mas Zaenal dapat, karena dia sudah melakukan booking dari beberapa bulan sebelumnya (semakin kita mendesak memesan tiket, harganya akan semakin mahal).
--- --- ---
Cerita yang mungkin sederhana, tapi buat saya, pengalaman mengobrol dengan orang baru di trotoar MH Thamrin tengah siang bolong, membuka wawasan saya. Menambah relasi, juga pengetahuan. Kita tidak pernah tahu apa yang akan kita dapatkan dari siapa. ‘Apa‘ adalah mungkin barang, berita, informasi, atau bahkan dukungan yang bisa mengubah hari yang biasa saja menjadi luar biasa. ‘Siapa‘ bisa jadi keluarga, teman dekat, teman yang sudah bertahun-tahun tidak pernah bertemu, atau orang di pinggir jalan. Untunglah saat di dalam kedutaan, saya sempat meminta alamat emailnya (tapi sampai sekarang belum saya hubungi).
Apa yang ingin saya bagikan kepada para pembaca blog ini, beranilah memulai pembicaraan dengan orang baruKemampuan kita berkomunikasi akan bertambah, juga pengetahuan kita akan bertambah. Hal lebih yang bisa kita dapatkan lainnya adalah kadang kita merasa kita ini hidup dalam keadaan paling sulit, tapi percayalah, pasti ada orang yang lebih sulit dibandingkan kita yang lebih memerlukan dukungan–kita diingatkan untuk selalu bersyukur.
Papa dan Mama yang selalu setia mendukung saya :)
Papa yang selalu mengantar anak bungsunya. 
Sebentar lagi saatnya untuk mandiri!

No comments:

Post a Comment

[Pengalaman] Pengharapan, Keyakinan, dan Cinta

"Hope, Faith, Love" ciptaan  Eric Whitacre. Kenapa tiga kata kerja ini yang dipilih oleh sang komponis? Hope - Penghara...