Friday, August 10, 2012

[Cerita Sahabat] Coincidence? No, it's a blessing!


Tulisan ini menceritakan perjalanan aku bersahabat dengan seorang anak perempuan manis (anak perempuan atau wanita ya?) bernama Yovita Diane Titiesari, dipanggil Tiesa. Ini dia anak manis tersebut:

Tiesa di pelataran International Choir Competition Cantonigros, Spain, 2009

Siapakah gerangan Tiesa ini? Tiesa adalah siswi SMP Santo Aloysius angkatan 2001 yang datang PALING AWAL di hari pertama Masa Orientasi Siswa (MOS). Kenapa aku bisa tahu dia yang datang pertama? Karena aku adalah orang kedua yang datang ^^ hehehehe...


Lambang sekolah di mana kami bertemu ^^

Berhubung TK dan SD aku berasal dari yayasan yang sama, di mana kompleksnya juga sama, jadi perasaan pagi itu datar-datar aja. Tapi pasti banyak teman baru, karena yang asalnya di SD ada 3 kelas aja (sekitar 150 anak per angkatan), di SMP ini aka nada 7 kelas. Tiba di depan aula tempat MOS diadakan, aku melihat seorang siswi sudah berdiri di depan. “Oke, rekor paling pagi vava udah ada yang ngalahin lagi aja..” ngomong dalam hari sendiri. “Ok, bukan dari Aloy nih, mari kenalaaaan..” ngomong dalam hati sendiri, lagi.

“Halo, mau MOS juga kan? Saya Fatma, tapi panggil Vava aja,” sapa senyum lebar sambil nyodorin tangan untuk salaman.

“Halo, aku Tiesa,” jawabnya manis.

Jujur sejujur-jujurnya, gak terlalu ingat apa aja yang kita bicarakan pagi itu sampai banyak anak lain datang dan kita mengikuti MOS. Cuma tahu, namanya Tiesa, asalnya dari Cimahi, kalau ke sekolah butuh 1 jam lebih (sementara aku ini masih dianterin Papa pakai mobil dan Cuma butuh 20 menit aja). Kagum. Sangat.

Lebih lanjut, kami gak pernah sekelas selama SMP. Tapi ternyata kami ikut les bimbingan belajar bersama di seberang sekolah. Nama guru lesnya itu Pak Anton, jadi ya kami bilangnya ‘les Pak Anton’, bukan ‘les pelajaran’. Hal yang membuat kami nyambung adalah ternyata kami mengidolakan seorang kiper Spanyol tampan di bawah ini:


Poster yang persis ada di kamar Vava waktu SMP dulu :p

Yap! Iker Casillas, kiper timnas Spanyol yang nampil di World-Cup 2002 karena keberuntungan; kiper utamanya Canizares kecelakaan otot tendon gara-gara kejatuhan botol kaca di kamar mandi. Dan ternyata Iker ini sangat menarik perhatian kami dan banyak anak perempuan lainnya, sehingga kami rela beli majalah bola yang harganya cukup mahal, karena ada poster Iker sebagai bonusnya. ^^ (gak tau mau ketawa lucu apa malu rasanya lihat kelakuan masa lalu)

Mendadak kami naik ke jenjang SMA. 3 tahun, gak sekelas sama sekali. Tapi tetap bersama les di Pak Anton. Kami ikut ekskul paduan suara bersama, dan pada saat kepengurusan, kami bareng jadi ketua-wakil ketua. Jodoh ke mana-mana deh. Sebenarnya part mengenai kepengurusan ini seru untuk dibahas, tapi bisa jadi satu novel sendiri, jadi pada tulisan selanjutnya ya ^^

Ada acara penghijauan bersama, study tour ke Bali, juga liburan ke Pangandaran bersama ekskul. Berikut sedikit foto unyu kami waktu SMA ^^



Some memories in High School ^^

Kelas 3 SMA adalah saat pertama kali kami merasakan kegalauan yang amat sangat. Saatnya UAN dan ujian masuk perguruan tinggi. Temen manis satu ini udah yakin mau daftar kedokteran dan farmasi. Sementara saya uring-uringan dan baru mengisi jurusan tepat di depan loket pengembalian. >_< Setelah menyelesaikan UNAS, kami mengikuti bimbingan persiapan SPMB, kembali bersama-sama. Bimbingan setiap hari (serasa sekolah lagi aja), ikut try out, pusing liat nilai try out jelek, berdoa bersama, galau-galauan bersama.
Apakah hasil SPMBnya? Kami kuliah di PTN yang sama dengan jurusan yang berbeda. Tiesa masuk jurusan Farmasi, sementara saya selalu dikira anak Farmasi juga sama semua anak unit gara-gara ke mana-mana seringnya bareng Tiesa (oke, untuk informasi, saya jurusan Teknik Elektro ^^ ) 

She studied Farmakologi, and I'm studied Elektronika :)

Tapi kami memilih unit yang sama: Paduan Suara Mahasiswa ^^ jadi ya setidaknya seminggu sekali atau dua kali pasti ketemu waktu latihan. Dari kostum nyanyi cantik berbatik sampai kostum Tari Saman, karena kami jadi penari juga, ada:


Cantik dengan dress batik, Keren dengan baju Tari Saman ^^

Namanya rejeki itu gak ada yang bisa tahu. Di tahun 2009, kami berangkat ke Eropa untuk mengikuti perlombaan paduan suara internasional. Dua anak muda berangkat, ke mana-mana berdua. Kalau ada objek bagus, mau foto, gak enak minta senior fotoin, akhirnya kami tukeran foto. Jadi isi kamera aku itu foto Tiesa semua, and vice versa. Hasilnya seperti di bawah ini, posisi sama, objek yang difotonya aja yang diganti :p



On Prague street after cultural concert :)
In front of Sagrada Familia, Barcelona

Akhirnya ada sih beberapa foto kami berdua. Haha, tapi maklum, umur labil, jadi fotonya pun agak labil :p


At Europe, beautiful continent, with great friend :)

Hal paling amazing adalah, di hari terakhir sebelum pulang, jam 9 malam, saat langit di sana baru mulai redup (waktu itu summer), kami makan McD bareng di tangga-tangga taman sambil memandang La Tour d’Eiffel yang mulai berkelap-kelip. Seperti mimpi. Biasanya kami ini jajan nasi gudeg atau batagor depan sekolah sambil ngomongin soal cowo yang kami kecengin. Itu dia, rejeki itu pasti udah ada yang atur ^^


Originally taken by me, myself! ^^

Di tahun 2011, kami berhasil memenuhi janji bersama: lulus Juli, dan wisuda bersama J Pada proses kami masing-masing menjalani TA, penuh air mata dan sms putus asa pokonya. Tapi Puji Tuhan, kami bisa tersenyum bersama menggunakan kebaya dan toga di hari yang sama J


Graduation day~~~! ^^

Kurang-lebih 2 bulan saya sudah mulai kerja di Cikarang sesudah lulus kuliah, suatu hari waktu makan siang, HP saya berbunyi ada sms masuk dari Tiesa, yang kurang lebih bunyinya, “Beps, kayanya aku dapet tempat KP di Jababeka 1. Kalau kamu di Jababeka berapa, Beps?” Oke.. Even udah cukup menjauhi ke Cikarang, masih aja kami ini jadi pegawai pabrik di kawasan yang sama. Dan ketika terjadi demonstrasi buruh besar-besaran di kawasan Cikarang awal tahun 2012, kami menderita bersama terjebak di kawasan, gak bisa pulang ke Bekasi.

“Friends in good and bad times, totally true!”


We're in 2012. She is become more more beautiful in her style^^

Dan hari ini, kabar gembira datang lagi, Tiesa sudah menyelesaikan ujian tertulis dan oral Apotekernya J I’m so so so proud of you darling! Tinggal 1 step lagi untuk Tiesa dapat gelar Apt. di belakang namanya. Tetap semangat ya!!! Salam dari Bekasi untukmu malam ini!!! ^^




And if I should ever go away
Well then close your eyes and try
To fell the way we do today
And then if you can remember
Keep smiling, keep shining
Knowing you can always count on me, for sure
That’s what friends are for
For good times and bac times
I’ll be on your side forever more

That’s what friends are for…

(from: That's What Friends are For)




Friday, August 3, 2012

[Pengalaman] Komunikasi Membuka Relasi dan Pengetahuan

Kamis, 19 Juli 2012 

Pukul 08.30 saya sudah berdiri di depan Kedutaan Besar Jerman untuk mengambil visa. Proses visa yang saya ajukan akhirnya sudah selesai diproses oleh Kantor Imigrasi Jerman. Agustus akhir saya akan melanjutkan sekolah ke Hochschule Ravensburg – Weingarten, Jerman. Tulisan ini bukan membahas soal sekolah atau keberangkatan saya nanti, tapi secuplik kejadian kecil dalam proses persiapannya.


Proses pengambilan visa adalah dengan menyerahkan passport ke loket visa sebelum pukul 10.00, dan passport-visa selesai diproses setelah jam makan siang, pukul 13.00. Waktu itu kedua orang tua saya tercinta ikut mengantar. Setelah menyerahkan passport ke loket, kami bertiga menunggu di Grand Indonesia, sambil bersantap siang. Ketika waktu sudah menunjukkan pukul 12.00, saya memutuskan untuk ke kedutaan dengan berjalan kaki, karena jika menggunakan kendaraan orang tua, kami akan terjebak dalam kepadatan lalu lintas siang itu.


Kira-kira 15 menit, saya sudah tiba di depan kedutaan. Gerbang masih ditutup, akan dibuka tepat pukul 13.00. Sudah tampak seorang laki-laki yang kira-kira seumuran saya, juga menunggu di depan gerbang kedutaan. Karena cuaca cerah dan cukup panas, saya akhirnya memilih duduk di depan gerbang yang agak teduh karena bayangan pohon. Laki-laki itu ikut duduk di sebelah saya. Saya lirik jam, baru pukul 12.25. Masih lama dan terasa lama karena panasnya luar biasa. Akhirnya saya coba untuk mengobrol dengan orang di samping saya ini.
“Siang, Mas, mau ambil visa juga?” tanya saya agak ragu, kuatir orangnya tidak akan menanggapi.
“Iya, Mba, tapi tadi pagi saya telat. Jadi sekarang mau nyerahin aja, besok pagi ambil lagi,” jawabnya cukup ramah.
“Hooo (kebiasaan aneh saya menanggapi sesuatu). Mas lanjut kuliah atau kerja?” tanya saya lebih lanjut.
“Saya mau kuliah S2, ilmu politik, kebetulan dibiayai sama kantor. Di Trier,” jawabnya.
“Hooo (lagi), Kakak kandung saya dulu kuliah di Trier juga, tapi sekarang sudah kerja di Nuremberg. Terus satu lagi, kakak saya juga, kuliah di Weingarten, sekarang kerja di Freising. Nah, saya mau kuliah di Weingarten itu, Mas,” celoteh saya semangat.
“Sebenernya ini udah kedua kali saya apply visa. Yang pertama ditolak. Bukan pending. Saya harus mengajukan ‘banding’ ke Departemen Luar Negeri,” katanya membuka topik pembicaraan baru. “Teman saya juga, ditolak gara-gara ga punya sertifikasi bahasa Jerman. Padahal kuliahnya full Inggris.”
Saya langsung tersentak, “Hoooo (lebih nyaring) saya juga program full Inggris, dan belum punya sertifikasi bahasa Jerman. Tapi diapprove kok.” Tiba-tiba saja saya panik takut kalau tiba-tiba visa saya akan ditolak begitu saya mengambil passport nanti.
Terkuaklah cerita tentang seorang petugas visa wanita yang kami juga tidak tahu siapa namanya. Sebutlah namanya Mawar (bukan nama sebenarnya tentu saja), terkenal akan kegalakannya dalam proses aplikasi visa. Dua tahun yang lalu, Mama saya mengajukan aplikasi visa untuk berkunjung menemani istri Kakak saya yang akan melahirkan di Jerman. Sudah merasa yakin karena semua dokumen yang diperlukan sudah dilengkapi, aplikasi oleh Ibu Mawar dipending (beda dengan ‘ditolak’. Pending itu biasanya ada dokumen kurang lengkap, sehingga kita diminta untuk kembali lagi menyerahkan seluruh dokumen pada appointment selanjutnya). Mama diminta menyertakan surat asli, dokumen undangan dari Kakak saya.
Hal yang sama terjadi pada Mas tersebut (belum sempat berkenalan menanyakan nama, kami sudah ngobrol asik). Mas tersebut sudah lulus tiga tahun yang lalu, dan Ibu Mawar meminta semua bukti kerja dari semenjak beliau lulus. Agak mengada-ada, karena untuk keperluan visa studi yang diminta sebenarnya adalah: Ijazah SMA dan S1, surat penerimaan dari universitas di Jerman, passport, bukti keuangan, dan pas photo untuk visa.
Kasus lain oleh Ibu Mawar adalah teman dari Mas tersebut yang akan mengikuti program S2 dalam bahasa Inggris, diminta sertifikasi bahasa Jerman. Padahal pada website dituliskan , “Sertifikasi bahasa Jerman jika diperlukan untuk studi”. Pada surat penerimaan universitas dicantumkan dengan jelas apakah program dijalankan dengan bahasa Jerman atau Inggris. Teman Mas tersebut akhirnya menunda aplikasi visa dan dia mengikuti kursus intensif. Sementara saya dulu pernah mengikuti kelas A1.1 di kampus ketika kuliah tidak mendapatkan sertifikat (karena mangkir ujian, ada ujian perkuliahan), dan saat ini belajar mandiri karena nanti program belajar dalam bahasa Inggris. Dan yang lebih saya syukuri, adalah ketika melakukan aplikasi oleh petugas visa tidak disinggung sama sekali.
Dari pembicaraan singkat tersebut, saya merasa sangat bersyukur karena semua proses aplikasi yang saya jalankan lancar, dan tidak dipersulit. Belum lagi di akhir pembicaraan, Mas Zaenal (mengetahui namanya setelah kira-kira setengah jam mengobrol) menanyakan apakah saya sudah memiliki tiket pesawat atau belum. Saya belum booking tiket sama sekali karena takut visa ditolak. Dia menginformasikan bahwa saya bisa membuat international student card di sebuah agen perjalanan, dengan hanya membayar Rp 100.000,00. Dengan memiliki kartu tersebut saya dapat mendapatkan potongan harga yang cukup besar. Sebelumnya saya cukup stress melihat harga tiket untuk tanggal keberangkatan saya mulai dari 850 USD up. Dengan kartu tersebut saya bisa mendapatkan potongan harga yang lumayan, tapi tidak semurah yang Mas Zaenal dapat, karena dia sudah melakukan booking dari beberapa bulan sebelumnya (semakin kita mendesak memesan tiket, harganya akan semakin mahal).
--- --- ---
Cerita yang mungkin sederhana, tapi buat saya, pengalaman mengobrol dengan orang baru di trotoar MH Thamrin tengah siang bolong, membuka wawasan saya. Menambah relasi, juga pengetahuan. Kita tidak pernah tahu apa yang akan kita dapatkan dari siapa. ‘Apa‘ adalah mungkin barang, berita, informasi, atau bahkan dukungan yang bisa mengubah hari yang biasa saja menjadi luar biasa. ‘Siapa‘ bisa jadi keluarga, teman dekat, teman yang sudah bertahun-tahun tidak pernah bertemu, atau orang di pinggir jalan. Untunglah saat di dalam kedutaan, saya sempat meminta alamat emailnya (tapi sampai sekarang belum saya hubungi).
Apa yang ingin saya bagikan kepada para pembaca blog ini, beranilah memulai pembicaraan dengan orang baruKemampuan kita berkomunikasi akan bertambah, juga pengetahuan kita akan bertambah. Hal lebih yang bisa kita dapatkan lainnya adalah kadang kita merasa kita ini hidup dalam keadaan paling sulit, tapi percayalah, pasti ada orang yang lebih sulit dibandingkan kita yang lebih memerlukan dukungan–kita diingatkan untuk selalu bersyukur.
Papa dan Mama yang selalu setia mendukung saya :)
Papa yang selalu mengantar anak bungsunya. 
Sebentar lagi saatnya untuk mandiri!

[Pengalaman] Pamit dan Pesan untuk Perjalanan


Rabu, 1 Agustus 2012

Terima kasih banyak kepada:

Bapak Ir. Yudi Gondokaryono, M.Sc, Ph.D dan Bapak Ir. Achmad Fuad Masud, M.Eng.



Pukul 10.00 WIB saya sudah turun dari angkot Cicaheum-Ledeng di depan gerbang kampus jalan Taman Sari (ketahuan deh mangkir kerja hehe). Perasaan saya sedikit campur aduk. Rasanya baru kemarin datang ke kampus dengan tas besar di punggung, plastik besar di tangan berisi draft tugas akhir untuk diperiksa pembimbing. Tapi itu sudah setahun yang lalu. Tahun ini saya dapat kado yang sangat besaaaarrr! Sebentar lagi akan lanjut studi lagi ke jenjang berikutnya. Jadi, hari ini datang untuk pamitan langsung kepada dua dosen yang dulu mengajar saya, dan sering sekali saya ganggu untuk meminta recommendation letter untuk pendaftaran sekolah, hehehe :)


Kuliah di luar negeri awalnya sedangkal dan semenakutkan in buat saya: packing banyak barang, pamitan nangis-nangis sama keluarga dan teman-teman, duduk berbelas jam di pesawat, sampai di kota tujuan, beres-beres barang, terus belajar belajar belajar sampai lulus dapat gelar. Tapi kalau sudah berdiskusi dengan orang yang berpengalaman, ternyata jadi sedalam dan semenyenangkan apa yang saya dengarkan.

Homesick 

Merupakan penyakit yang jauh lebih parah dibandingkan menghadapi mata kuliah yang akan dipelajari. Tapi di sinilah kita belajar bagaimana me-manage perasaan dan logika kita untuk menjadi pribadi yang dewasa. Apalagi pindah dari kota yang riuh-ramai (di Bandung dari lahir sampai lulus kuliah, lalu 1 tahun Bekasi-Cikarang bekerja di kawasan industri) ke kota kecil yang penduduknya sekitar 22.000 orang, dan tidak ada mall di sana. Bersyukurlah saat ini kita tinggal di era telekomunikasi yang cukup canggih. Pasang kabel internet ke laptop, buka social media network, langsung kita lihat wajah Papa-Mama-Kakak-Keponakan-Saudara lewat video-call secara real-time, atau berbicara langsung dengan mereka melalui voice-call. Komunikasi semudah dan semurah itu. Jadi, homesick jaman sekarang ini sudah tidak relevan lagi untuk dijadikan hambatan psikis seorang mahasiswa yang merantau jauh ke luar negeri.

Perbedaan Kewarganegaraan

Ketika masuk ke perguruan tinggi negeri, bagi saya merupakan salah satu culture-shock-event dalam hidup. Mulai jenjang Taman Kanak-Kanak sampai SMA, saya sekolah di sekolah swasta Katolik. Sehingga yang saya lihat adalah hampir semuanya teman-teman seiman, dan siswa luar kota juga tidak signifikan banyak jumlahnya. Di dunia kuliah semua berubah. Semua berbahasa Indonesia dengan logat aslinya, beribadah menurut agama dan kebiasaan tradisinya masing-masing. Tapi kuliah di luar negeri, bahasapun bisa jadi kendala. Sisi positifnya: improve your English by talking with new people everyday. Actually, we have to improve the nation language too (oh no, it's sooo hard >_< ).

Point berikutnya yang penting menurut dosen adalah: Perilaku. Bayangkan dalam satu keluarga saja kita bisa bertengkar dengan saudara kandung, apalagi dengan orang yang tinggal beratus kilometer jauhnya, dengan kondisi alam, iklim, tradisi yang jauuuuh berbeda. Akan lebih banyak lagi faktor yang bisa mencetuskan percekcokan. Lantas apa sisi positifnya? Yang muncul di pikiran saya pertama kali adalah belajarlah jadi orang yang sedikit acuh dan individualis. Dan, itu adalah pikiran saya yang berumur 23 tahun. Jangan cari masalah atau menimbulkan masalah, uruslah urusan sendiri.



Lalu apa pendapat dosen tentang hal ini? Point ini sangat penting. Kita bisa saling mengetahui karakteristik setiap negara. Kebiasaan dan perilaku bersikap dan berkomunikasi akan membawa habit dari setiap negara. Di sinilah sebenarnya kita juga menunjukkan karakteristik yang kita miliki sebagai orang Indonesia (ok, terdengar mulai nasionalis tinggi). Posisi kita sebagai mahasiswa, jadi biarlah dosen dan profesor yang akan memberikan nilai akhirnya. Setelah mendengar wejangan ini, cita-cita saya bukan hanya bisa lulus dengan nilai baik, tapi bisa meninggalkan kesan baik sebagai mahasiswa INDONESIA kepada pengajar saya nantinya. 

Kuliah, Belajar, Tidur, Kuliah, Belajar, Tidur (Pola Rutinitas)

Itulah pola yang terbayangkan oleh saya selama ini. Menurut sang ahli (baca: dosen), banyak aspek selain kuliah yang harusnya kita pelajari selama kita merantau di negeri orang. Perbedaan kebudayaan yang begituuu banyak, seharusnya menambah banyak wawasan yang akan kita peroleh. 10 warga negara lain yang kita temui, maka berusahalah untuk dapat bergabung ke dalam 10 komunitas tersebut. Bukan hanya jalan-jalan ke banyak tempat baru yang bisa membuka wawasan. Tapi komunikasi dengan semua orang yang ada di lingkungan kita juga penting untuk membuka wawasan, dan lebih jauh lagi: relasi.

Belajar Mendokumentasikan Sesuatu dengan Sebaik-baiknya

Baru saat ini saya mengerti kenapa pembimbing TA saya waktu dulu selalu menekankan pentingnya dapat mengkomunikasikan hasil kerja dengan baik, melalui media power point, tulisan di kertas, maupun laporan formal. Sebelum maju sidang, hampir empat kali saya diminta merevisi laporan. Berdasarkan curhatan teman yang sudah merantau dari setahun yang lalu, revisi laporan adalah hal yang cukup memusingkan dan melelahkan, dan terjadi berulang ketika menyerahkan laporan kepada profesor.

Menulis dengan tepat, jelas, dan padat tidak semudah yang dibayangkan. Perlu waktu untuk menumbuhkan kemampuan tersebut, terlebih apabila kita menulis dalam bahasa asing. (Pada titik ini tiba-tiba saya sangat mencintai bahasa Indonesia). Salah satu cara yang saya tempuh untuk melatih cara berkomunikasi adalah dengan membuat blog ini :) Menulis dengan bahasa yang baik tapi asyik dan menyenangkan ternyata sulit -_-" Yang cukup disayangkan adalah bagaimana pelajaran bahasa kita di negeri kita sendiri sering dinomorsekiankan (bukan lagi dinomorduakan). Jangan pernah meremehkan bahasa, karena dari bahasalah sebenarnya perilaku kita terbaca oleh orang lain.

Akankah kembali ke tanah air setelah selesai sekolah? 

Point ini termasuk point yang krusial. Banyak orang yang mengkritik mahasiswa Indonesia yang berkarir di luar negeri, dan tidak kembali ke tanah air. Beberapa stasiun TV swasta juga pernah menayangkan talk-show dengan orang Indonesia yang kuliah dan berkarir di luar negeri. Ternyata gelar yang didapat susah payah di perantauan belum tentu dapat diterima oleh negeri kita sendiri. Bisa jadi teknologinya belum ada, industrinya juga belum membutuhkan tenaga ahli bidang tersebut. 

Pesan yang dosen saya berikan ini sangat sangat sangat membuka pandangan saya: "Pulanglah jika memang sudah ingin pulang. Mendapat gelar Master dan Doktor dari luar, lalu langsung kembali ke sini bukan pilihan yang bijaksana sebenarnya kalau tujuannya ingin ikut membangun. Cobalah kerja, masuk industri di sana, lihat perilaku bangsa yang maju bekerja, apa yang harus kita ikuti. Bukan hanya ilmu yang harus kita bawa kembali ke sini untuk kita teruskan."

Gelar, Karir, Kesuksesan, (jangan lupa) Keluarga

Setelah sukses dapat gelar S2, banyak pilihan untuk ke tahap selanjutnya. Melanjutkan ke program doktoral, bekerja ke industri, atau bekerja ke perusahan lain yang diimpikan. Satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah kita makhluk sosial yang membutuhkan seseorang untuk berbagi. "Ada saatnya kita dalam situasi di mana kita membutuhkan dampingan seseorang yang sangat kita percaya." Dari perkataan dosen, saya menangkap bahwa hal ini sangat masuk akal. Saat masih muda seperti sekarang ini, banyak orang yang selalu siap di samping kita untuk mendengarkan celotehan dan gerutu kita. Teman gank, kakak, adik, bahkan orang tua. Tapi pada saatnya nanti kita memasuki tahap dewasa, teman gank sudah memiliki keluarga sendiri, begitu juga Kakak dan Adik. Orang tua pun semakin tua untuk dapat menampung semua keluh kesah kita, lebih-lebih keluh kesah kita dapat menjadi beban bagi orang tua.

"Keberhasilan kita ini sebenarnya bisa tercapai karena kita ini berasal dari lingkungan keluarga yang 'berhasil'. Bukan hanya dalam hal materi, tapi juga dalam hal kehangatan, kebersamaan, dan juga  kasih sayang."



[Pengalaman] Pengharapan, Keyakinan, dan Cinta

"Hope, Faith, Love" ciptaan  Eric Whitacre. Kenapa tiga kata kerja ini yang dipilih oleh sang komponis? Hope - Penghara...